Selasa, 19 Maret 2013

Sembilan Sosok Kememimpinan di Era Modern Oleh : LETKOL INF EKO PRAYITNO


SOSOK KEPEMIMPINAN
MASA DEPAN

Oleh : LETKOL INF EKO PRAYITNO
Pengantar.

Telah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, tetapi negara yang memperoleh kemerdekaannya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur seluruh rakyatnya itu, ternyata belum dapat mewujudkan cita-citanya menjadi negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negeri ini terjerat oleh hutang yang semakin menumpuk, ancaman disintegrasi bangsa, kuatnya pengaruh negatif dan destruktif gaya hidup global yang berkembang di masyarakat, menjamurnya pemakaian narkoba, miras, perjudian, pornografi dan pornoaksi, meningkatnya tindak kriminalitas,
kian besarnya campur tangan asing dalam masalah-masalah dalam negeri, makin merebaknya paham materialisme, liberalisme, kapitalisme, konsumerisme, permisivisme, dan hedonisme di tengah-tengah maraknya tindakan tercela korupsi, kolusi, manipulasi, mark up, nepotisme, pungli, suap, penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penyimpangan pajak, dan semacamnya, serta terus bertambahnya jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran yang terus membengkak, dengan berbagai dampak negatifnya, terutama dalam aspek keamanan serta akhlaq dan perilaku masyarakat.


Reformasi 1998 yang diharapkan dapat mengubah dan memperbaiki keadaan, ternyata justru menghadirkan persoalan-persoalan baru yang kian menambah keterpurukan negara yang kaya raya ini, dan hanyut tenggelam dalam krisis multi dimensi.  Reputasi dan citra Indonesia serta harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia internasional merosot drastis. Ironisnya, kecenderungan perilaku para pemimpinnya justru lebih terfokus pada masalah bagi-bagi kekuasaan, kedudukan, dan fasilitas, serta berupaya memanfaatkan setiap peluang yang ada demi kepentingan sesaat bagi partai atau kelompoknya, bukan demi kepentingan bangsa dan rakyat negeri ini dalam jangka panjang. Kurang tergambarkan adanya sense of crisis dalam sikap dan perilaku para pemimpin di negeri ini. Terlihat samar sikap kepedulian dan keberpihakan para pemimpin kepada nasib rakyat, terhadap masa depan bangsa dan negaranya. Yang justru menonjol adalah usaha memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dan krisispun terus berjalan berlarut-larut.
Para pemimpin banyak yang terlena dalam euphoria reformasi, dan tidak menyadari bahwa pada saat yang bersamaan ada kekuatan-kekuatan besar dunia yang berusaha mengail di air keruh, dengan melancarkan multi aksi di berbagai aspek kehidupan bangsa ini, sebagai bagian dari strategi yang mereka jadikan andalan dalam meneruskan dominasi dan hegemoninya atas negara-negara berkembang yang kaya dan berpotensi. Padahal betapa sangat dibutuhkan adanya kesadaran dan peran para pemimpin dalam mempersepsi gelagat perkembangan  kondisi  lingkungan yang terus berkembang, agar bangsa dan negara ini tidak semakin terjerat dan terbelenggu dalam ketidakberdayaan, serta pada gilirannya terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Bangsa Indonesia tentunya tidak menginginkan, jika negeri yang oleh Allah dianugerahi tanah yang subur, terkenal kaya raya akan sumber daya alamnya, berada pada posisi strategis geo-politik dan geo-ekonomi dunia, dengan pola iklim dan cuaca yang amat kondusif bagi kehidupan, dengan pemandangan alam yang indah sebagai daya tarik para wisatawan, serta memiliki keanekaragaman warna-warni budaya maupun flora dan fauna ini, kemudian menjadi sebuah negara yang tergadaikan oleh hutang yang kian menumpuk, dengan banyak penduduknya yang miskin, kerusuhan merebak dimana-mana, masyarakatnya tak lagi mengindahkan norma hukum, norma budaya, dan norma agama. Kita sebagai bangsa besar harus bangkit, menemukan kembali jatidiri kita selaku bangsa yang berakhlaq dan bermartabat, maju bersama dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekeluargaan, kerukunan dan gotong royong.
Untuk itu semua, kita memerlukan sosok Kepemimpinan dan sosok pemimpin-pemimpin yang mampu mengarahkan, mengantar, dan membawa bangsa dan negara ini menuju tercapainya cita-cita Indonesia Raya yang jaya dan sejahtera, menjadi bangsa dan negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Serta senantiasa memegang teguh komitmennya untuk melakukan fungsi-fungsi pemerintahan negara yang sekaligus merupakan tujuan nasional kita, yakni : Membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, tentang betapa peran Kepemimpinan yang tetap mengacu pada nilai-nilai luhur Pancasila sangatlah penting, dalam mengarahkan dan membawa bangsa ini mampu menghadapi krisis multi dimensi yang berkepanjangan, yang sarat diwarnai dengan nuansa perebutan kekuasaan, dalam jiwa dan semangat ke-Indonesia-an, persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekeluargaan, kerukunan dan gotong royong, sehingga bangsa Indonesia dapat segera bangkit kembali dan pulih menjadi bangsa yang penuh rasa percaya diri dan bermartabat, dalam sikap kemandirian yang tak terlalu tergantung dan dikendalikan oleh bangsa lain, serta menempati posisi interdependensi dalam kesetaraan di arena percaturan global, guna melanjutkan perjuangan dan perjalanannya ke depan. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan masukan sumbangan pikiran bagi bangsa Indonesia yang sedang dilanda oleh krisis multi dimensi, khususnya bagi para penyelenggara negara di tataran legislatif, eksekutif dan yudikatif, agar dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat dalam menghadapi berbagai macam permasalahan dan tantangan nasional, dalam arti senantiasa bersikap cerdas, waspada, cermat, dan hati-hati, serta tetap berpegang teguh pada jatidiri ke-Indonesia-an kita, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

DAMPAK KRISIS MULTIDIMENSI.

Sungguh sangat disayangkan, bahwa di tengah-tengah tekanan yang begitu keras terhadap negara kita, yang diawali dengan penggoyangan sektor moneter, kemudian meluas ke sektor ekonomi riel, dan selanjutnya berkembang menjadi krisis kepercayaan dan krisis politik serta krisis budaya, justru disikapi oleh para elit politik dan beberapa kelompok kepentingan di negeri ini, untuk mengambil kesempatan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar dalam jangkauan jauh ke depan. Terutama dihadapkan pada demikian dahsyatnya dan bertubi-tubinya tekanan multi dimensi dari luar terhadap negara kita.
Akibat dari semua itu telah kita alami dan kita saksikan bersama hingga saat ini, betapa krisis ekonomi dan politik itu kemudian semakin meluas ke krisis keamanan dan ancaman disintegrasi bangsa, dan bahkan telah berkembang hingga ke krisis akhlaq masyarakat, yang oleh para pemimpin negeri ini kurang mendapatkan porsi perhatian yang memadai untuk menanganinya. Norma hukum, norma budaya, dan norma agama, seperti tak lagi diindahkan dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat. Perdagangan dan penyalahgunaan Narkoba dan Miras telah merebak ke hampir seluruh kalangan masyarakat hingga ke anak-anak. Pornografi dan pornoaksi serta keterbukaan perilaku seksual dan erotisme, sepertinya sudah bukan lagi menjadi sesuatu hal yang tabu dalam kehidupan keseharian masyarakat yang berpredikat "agamis" dan "religius". Dekadensi moral dan kemerosotan akhlaq masyarakat telah hadir mewarnai hampir pada seluruh penayangan dan penampilan di media massa, maupun pada berbagai pergelaran serta jaringan media komunikasi dan informasi massa. Demikian pula dengan semakin maraknya pemberitaan gosip, ghibah, dan fitnah secara terang-terangan yang cukup meresahkan masyarakat.
Rasa kepedulian dan tenggangrasa di kalangan para pemimpin dan tokoh serta orang-orang yang berkemampuan juga terlihat makin pudar. Rakyat seperti merasa kehilangan pemimpin dan tokoh yang bisa dijadikan sebagai pengayom dan panutan. Mereka seperti tak lagi memiliki rasa penghargaan dan kepercayaan kepada para pemimpin formal maupun non formal. Bangsa ini seperti telah kehilangan rasa percaya diri dan bahkan telah kehilangan jatidirinya. Reformasi yang bergulir justru telah melahirkan kecenderungan munculnya perpecahan, pertikaian, dan disintegrasi bangsa. Dalam dimensi vertikal, di berbagai wilayah muncul kelompok-kelompok yang mengajukan tuntutan obsesif untuk memisahkan diri dari NKRI. Dalam dimensi horisontal, muncul pula berbagai ragam tuntutan akan hak yang lebih besar dan lebih luas, antara lain dari kalangan kaum perempuan, buruh, petani, nelayan, pengusaha kecil, karyawan, kelompok keturunan, kelompok profesi, elemen daerah, dan sebagainya. Mencerminkan kompleksitas kekalutan dalam kehidupan mereka serta sikap perlawanan yang berbau rasa kecewa, merasa diperlakukan tidak adil, iri hati, ketidak berdayaan, ketidaksabaran, kenekadan, ambisi, kurang berfungsinya akal-budi-nurani, dan menurunnya kualitas akhlaq dan budi pekerti.
Reformasi yang seharusnya diisi dengan langkah-langkah perubahan signifikan, guna menghasilkan kondisi kehidupan nasional yang lebih baik, justru meluncur lepas jalur alias kebablasan nyaris tanpa kendali. Sudah tak jelas lagi mana permasalahan pokok yang memerlukan prioritas penanganan, dan mana permasalahan sampingan yang bisa ditangguhkan. Mana yang makro dan mana yang mikro, mana yang tergolong masalah strategik konsepsional dan mana yang bersifat teknis operasional. Perubahan juga telah dipersepsikan secara keliru, sebagai asal sekedar berubah, asal bisa menampilkan sesuatu yang baru, yang berbeda dengan sebelumnya. Tidak peduli apakah lebih baik dari sebelumnya atau malah lebih buruk. Sungguh menyedihkan, bahwa hal ini juga terjadi pada proses amandemen UUD 1945 maupun revisi atas berbagai peraturan perundangan, serta berbagai kebijakan restrukturisasi atas kelembagaan dan asset-asset negara.
Masa lalu dan pihak-pihak yang terkait dengannya, selalu dijadikan kambing hitam atas setiap ketidakberhasilan melakukan sesuatu, sebagai upaya pengalihan perhatian masyarakat dan pelampiasan rasa frustrasi, atau sekedar untuk menutupi kekurangan yang ada. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa reformasi juga dipersepsi secara salah, sebagai ajang pelampiasan rasa dengki, iri hati, dendam, buruk sangka, dan fitnah. Sebuah rangkaian penyakit rohani yang sangat berbahaya, apabila sampai melanda sebuah masyarakat bangsa, tanpa adanya penyadaran dan upaya perbaikan yang dimotori oleh para pemimpinnya. Disinilah pentingnya peran pemimpin dalam melakukan pelurusan atas hal-hal yang bengkok, serta memberikan dorongan semangat dan tekad bagi bangsanya, untuk melakukan hal-hal yang benar dan baik serta terpuji, dalam sikap yang dilandasi oleh kebenaran akal, kebaikan kehendak jiwa, dan keluhuran yang terpancar dari hati nurani. Disertai keberanian dan ketegasan yang selalu diselaraskan dan dipadukan dengan pertimbangan dan kebijaksanaan.


PERMASALAHAN POKOK KEPEMIMPINAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA

1.       Peran Kepemimpinan Dalam Upaya Pencapaian Tujuan.
Hakikat kepemimpinan adalah seni dan ilmu dalam mempengaruhi, mengajak, mengarahkan, dan menggerakkan manusia yang dipimpinnya, untuk secara sadar dan ikhlas serta penuh ketaatan dan kepatuhan, mau melaksanakan sesuatu bagi tercapainya tujuan bersama.
          Menjadi jelas bahwa peran Pemimpin dalam suatu masyarakat bangsa sangatlah penting, karena ia merupakan "jiwa" atau "ruh”-nya masyarakat bangsa yang bersangkutan, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya. Bila Pemimpinnya menjalankan Kepemimpinannya secara benar, baik, dan beradab, maka bangsa dan negara yang dipimpinnya akan berjalan mengarah kepada keberhasilan, makin mendekati cita-cita dan tujuan nasionalnya. Demikian pula sebaliknya.
          Apa yang dihadapi Indonesia sejak tahun 1998 sungguh sangat memprihatinkan. Negeri ini mengalami krisis kepemimpinan. Berganti-ganti Pemimpin dan yang terjadi justru Reformasi yang kebablasan, hilangnya jatidiri, kemerosotan akhlaq, serta ancaman disintegrasi bangsa, yang semakin memperjauh jarak menuju tercapainya cita-cita dan tujuan nasional yang didambakan oleh seluruh rakyat. Indonesia benar-benar telah mengalami krisis kepemimpinan.

2.       Terjadinya Krisis Kepemimpinan.
Sejak lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998, Indonesia mengalami krisis kepemimpinan nasional berlarut-larut. Setidaknya dalam  pengertian berikut :
a.       Kepemimpinan nasional yang tidak memenuhi persyaratan memimpin bangsa dan negara yang sangat plural dan sarat dengan aneka permasalahan.
b.       Kepemimpinan nasional yang tidak mampu mengendalikan bangsa dan negara yang dipimpinnya.
c.       Banyaknya manusia yang ingin memegang tampuk kepemimpinan nasional tanpa mengukur diri tentang kemampuan dan integritas serta akseptabilitasnya.

Krisisnya kepemimpinan nasional yang menyebabkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan negara di tingkat Pusat tersebut, berdampak pula pada menurunnya efektivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan di Daerah-daerah. Dan hal itu berpengaruh besar dalam penciptaan kondisi ketidakpercayaan masyarakat kepada para pemimpinnya, baik formal maupun non formal. Hal ini wajar karena pada hakikatnya manusia yang berhimpun dalam sebuah kelompok masyarakat memerlukan adanya Pemimpin yang berperan mengarahkan, menyemangati, dan mengayomi.
Penyebab utama dari terjadinya krisis kepemimpinan tersebut adalah :
a.       Terlalu lamanya Presiden Soeharto memimpin negara ini, sehingga di satu sisi makin bertambah banyak musuh-musuhnya, dan di sisi lain makin berkembang intrik-intrik dan persaingan kepentingan diantara orang-orang dekatnya yang mempunyai  ambisi kekuasaan. 

b.       Tidak adanya  proses kaderisasi kepemimpinan nasional yang dilakukan secara terbuka, seperti yang berlaku di Malaysia dan Singapura misalnya.

c.       NKRI yang sangat kompleks dan plural ini memerlukan sosok Pemimpin yang paripurna, yang hal itu tak mudah dipenuhi oleh seorang manusia biasa.

d.       Kepemimpinan nasional ditetapkan atas dasar pertimbangan kepentingan elit politik dan kelompok-kelompok politik melalui kompromi dan tawar-menawar politik, atau sekedar mendapat "bola muntah", bukan atas dasar kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang dimilikinya.

e.       Masyakat bangsa ini berikut para tokoh dan para pemimpinnya sedang mengalami krisis jatidiri dan krisis akhlaq.

3.       Kurangnya Keteladanan dari Para Pemimpin.
Salah satu prinsip kepemimpinan yang paling utama adalah Keteladanan. Lebih-lebih bagi masyarakat bangsa Indonesia yang paternalistik. Sehingga sangat tepatlah ajaran kepemimpinan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro : "Ing ngarsa sung tuladha" (Di depan memberi teladan). Atau seperti pidato Bung Karno : "Satunya kata dan perbuatan". Bagaimana rakyat yang dipimpinnya mau patuh dan hormat kepada Pemimpinnya, jika ia menganjurkan pemberantasan KKN, tetapi diri dan/atau keluarganya melakukan KKN secara terang-terangan. Atau meminta rakyatnya hidup hemat tetapi dia sendiri dan keluarganya hidup berboros-boros, bahkan dengan menggunakan anggaran dan fasilitas negara. Atau menganjurkan hidup sederhana tetapi kehidupan rumahtangga dan keluarganya penuh dengan kemewahan. Menganjurkan agar mencintai budaya bangsa sendiri, tetapi dirinya malah terkagum-kagum kepada budaya asing dengan melalaikan budaya sendiri. Atau meminta rakyatnya supaya mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri, tetapi Sang Pemimpin justru tak malu-malu menggunakan produk luar, mulai dari pakaiannya, makanannya, perabotan rumahnya, dan juga mobilnya, serta berbagai macam produk dan jasa lainnya. Menganjurkan agar diperkuat persatuan dan kesatuan, tetapi si Pemimpin justru menunjukkan sikap dan ucapan yang memancing terjadinya perpecahan. Mengecam praktik politik uang, tetapi membiarkan kelompok politiknya melakukan hal itu. Meminta agar semua pihak lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas semua  kepentingan  kelompok,  tetapi  dirinya  masih  mementingkan kelompoknya, bahkan tak mau melepaskan diri dari jabatan Ketua Umum partai politik meskipun telah mengemban amanah sebagai Presiden atau Wapres atau Ketua MPR atau Ketua DPR. Dan masih banyak lagi contoh-contoh ketiadaan Keteladanan para Pemimpin yang disaksikan oleh masyarakat. Bukan saja di kalangan eksekutif, tetapi juga di kalangan legislatif dan yudikatif, bahkan di kalangan para pemimpin non formal.
Penyebab utama mengapa para Pemimpin kurang berperan menjadi teladan bagi rakyatnya adalah, pertama masalah struktur dan sistem, kedua masalah kultur dan akhlaq. Yang pertama terkait dengan aspek struktur dan sistem, karena si Pemimpin dikondisikan oleh lingkungan struktur dan sistemnya, untuk melakukan sesuatu yang terkadang menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan, dengan dalih "perkecualian bagi si Pemimpin atau bahkan dengan dalih "demi kewibawaan dan kelangsungan kepemimpinan", atau malahan berdalih "demi kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan negara". Bagi Pemimpin yang pribadinya kurang kuat akan mudah tergelincir dalam sikap dan perilaku yang jauh dari peran Keteladanan tersebut. Namun bagi Pemimpin yang berintegritas dan teguh dalam memegang prinsip pribadinya, ia akan bisa memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang patut dan mana yang tidak patut.
Yang kedua terkait dengan kultur dan akhlaq. Masyarakat cenderung memaafkan atau minimal bersikap tak peduli terhadap Pemimpin yang kurang Keteladanannya, sepanjang masih dalam batas yang bisa ditoleransi, karena menganggap hal itu sebagai "hak istimewanya" seorang Pemimpin. Masyarakat bisa menerima seorang Pemimpin yang berpidato di tempat yang teduh, sementara rakyatnya berdiri di bawah panas terik matahari. Atau si Pemimpin memakai baju, sepatu, dan sabuk buatan luar negeri, sementara rakyat mengenakan pakaian sederhana produk lokal. Atau si Pemimpin merangkap-rangkap aneka jabatan, sementara banyak orang berkemampuan yang tidak mendapat kepercayaan mengemban suatu jabatan. Atau si Pemimpin punya aneka macam usaha dengan aneka jenis penghasilan, sementara rakyat kesulitan untuk mencari makan karena sempitnya lapangan kerja. Hal seperti ini mengakibatkan si Pemimpin berlaku "biasa-biasa" saja, meski tidak menjalankan fungsi Keteladanannya sebagai seorang Pemimpin. Apalagi budaya malu belum tertanam kuat pada sebagian masyarakat kita, termasuk di kalangan para pemimpinnya. Akan tetapi pada dasarnya, semuanya terpulang kepada akhlaq si Pemimpin. Jika si Pemimpin orang yang berakhlaq mulia dan berbudipekerti luhur, maka dia akan bisa mengendalikan sikap dan perilakunya, selaku Pemimpin yang patut diteladani oleh rakyatnya. Dan ia akan selalu berusaha untuk berperan sebagai teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

4.       Pergantian Kepemimpinan Nasional yang Cenderung Diwarnai oleh Ketegangan dan Kekerasan.
          Tidak ada pergantian Kepemimpinan Nasional dan bahkan beberapa di tingkat Lokal di negeri ini, yang tidak diwarnai oleh ketegangan, keributan, kerusuhan, dan kekerasan. Sebut saja pergantian kepemimpinan dari Presiden Soeharto kepada Habibi, dari Habibi kepada Megawati yang gagal dan kemudian dikompromikan dialihkan ke Gus Dur, dan dari Gus Dur ke Megawati. Ini merupakan cermin dari belum dewasanya para elit politik di negeri kita dalam berperilaku politik, maupun belum adanya pemahaman yang benar di kalangan masyarakat tentang kehidupan politik yang benar, baik dan beradab.
          Penyebab utamanya adalah karena akhlaq masyarakat termasuk akhlaq para pemimpinnya yang mengalami kemerosotan, sebagai akibat dari gencarnya serangan pemikiran luar yang berhasil menembus sistem berfikir dan berperilaku masyarakat yang kemudian melahirkan iklim kebebasan tanpa batas, yang menjurus ke permisivisme dan anarkisme. Ini terkait dengan kondisi kultur politik kita yang belum mapan, yang mencakup : pendidikan politik/proses politik, etika politik, dan partisipasi politik. Dalam kaitan dengan struktur politik, layak dikaji efektivitas dan kemanfaatan sistem multi partai, yang bukan saja semakin memecah belah struktur politik ke dalam kelompok-kelompok lebih kecil, yang makin menyulitkan pembinaan dan pengendaliannya. Tetapi juga berimplikasi pada pemborosan biaya penyelenggaraan politik, serta memberikan pendidikan politik yang salah kepada masyarakat, untuk lebih terfokus pada pergunjingan dan persaingan serta pertarungan politik, dan melalaikan kewajibannya membangun negeri ini melalui kerja nyata diberbagai sektor lapangan kerja.

5.       Kaderisasi Kepemimpinan yang Kurang Terstruktur.
          Sulitnya mencari pemimpin yang berkemampuan, berakhlaq, mendapat pengakuan dan kepercayaan rakyat, serta memiliki komitmen yang tinggi terhadap masa depan bangsa dan negaranya, adalah disebabkan oleh sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur politik yang masih lemah. Di negara-negara maju, partai politik dijadikan jalur untuk memperjuangkan aspirasi politik rakyat pendukungnya, sekaligus menjadi tangga pembelajaran untuk menjadi pemimpin politik, dari tingkat Anggota Legislatif hingga ke tingkat paling puncak, yaitu Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Para politisi umumnya terdiri atas orang-orang yang sudah mapan dari sisi kehidupan sosialnya maupun dari sisi kemampuan intelektualnya. Sementara di Indonesia, partai politik cenderung dijadikan ajang untuk mencari penghidupan, dengan orientasi materi dan kekuasaan, sehingga semangat memperjuangkan aspirasi rakyat dan semangat pembelajaran menjadi politikus dan negarawan yang andal, terkesan menjadi terabaikan. Akibatnya yang dihasilkan adalah kader-kader politik yang cenderung berorientasi pada materi dan kursi kekuasaan, serta kurang memiliki sifat dan sikap kenegarawanan, sehingga komitmennya kepada kepentingan bangsa dan negara menjadi rendah, di bawah kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dan bila tiba gilirannya dipercaya memimpin bangsa dan negara ini, mudah diramalkan apa yang akan dilakukannya.
          Kaderisasi Kepemimpinan adalah sebuah proses bertahap, yang harus di polakan secara terstruktur, sistemik, dan sistematik. Kaderisasi kepemimpinan di jalur partai-partai politik nampak kurang terpolakan secara struktural, sistemik, dan sistematik seperti itu. Namun ini adalah sebuah proses yang memerlukan waktu, ketekunan, dan kesabaran. Bila kita mengamati sistem kaderisasi kepemimpinan di lingkungan Birokrasi, sudah ada pola yang mapan seperti itu, walaupun belum sempurna. Paling tidak dari segi pengarahan pendidikan dan penugasannya. Dan bila kita mengamati lebih cermat ke sistem kaderisasi kepemimpinan di lingkungan TNI, secara jujur harus diakui bahwa di sana terdapat pola pembinaan karier dan kepemimpinan yang sudah lebih terarah, selektif, dan jelas, melalui sistem pembinaan pendidikan jenjang dan pendidikan spesialisasi, latihan dalam satuan dan antar satuan, penugasan sebagai Pemimpin, Staf, dan Guru, serta penugasan diberbagai lapangan tugas manajerial dan operasional, pembinaan keterampilan dan kemahiran teknis keprajuritan serta pembinaan jiwa dan semangat kepejuangan.
          Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi dan kondisi yang multi dimensional, sebaiknya kita tidak selalu berfikir negatif dan bersikap buruk sangka, dalam menetapkan Pemimpin yang benar-benar memiliki kemampuan, integritas, dan akseptabilitas, serta siap menjalankan amanah kepemimpinannya atas bangsa dan negara ini secara tegas dan bijaksana. Sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur Partai politik perlu terus kita dorong dan kita tingkatkan. Demikian pula sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur Birokrasi dan jalur TNI. Siapapun dan apapun latar belakangnya, yang memang dinilai mampu membawa bangsa ini menghadapi ancaman yang bertubi-tubi penghancurkan sendi-sendi negara dan bangsa ini, selanjutnya mengantarkan bangsa dan negara ini menuju kejayaannya, maka dengan akal sehat, kebersihan hati, dan kesucian jiwa, seluruh komponen bangsa harus ridha memberikan amanah kepadanya.

6.       Kultur Kepatuhan Asal Patuh kepada Pemimpin.
          Kultur dasar masyarakat Indonesia adalah patuh dan taat kepada Pemimpin. Bahkan ada yang tingkat kepatuhannya menjurus ke taqlid buta (Pokoknya, pejah-gesang nderek si Anu). Tetapi bila si Pemimpin sudah mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan rakyat kepadanya, maka rakyat dengan mudah bisa berbalik sikap menjadi berang dan ganas bahkan menjurus ke sikap anarkis. Inilah yang harus senantiasa diingat oleh para Pemimpin yang mengemban amanah rakyat. Baik di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
          Kultur masyarakat yang asal patuh kepada Pemimpin ini akan bisa membawa bangsa dan negara Indonesia ke kejayaannya, apabila si Pemimpin selalu berusaha berjalan pada rel yang benar, balk, dan bermartabat. Namun jika si Pemimpin yang menerima amanah tadi manusia yang jauh dari prinsip kebenaran, kebaikan, dan keluhuran akal-budi-nurani, maka yang terjadi adalah ketegangan demi ketegangan, kerusuhan demi kerusuhan, dan pertikaian demi pertikaian. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus pandai-pandai memilih Pemimpin. Yakni Pemimpin yang selain memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, juga harus yakin bahwa ia adalah Pemimpin yang benar-benar berjiwa dan bersemangat Pancasila.

SOSOK KEPEMIMPINAN IDEAL MASA DEPAN

1.       Diperlukannya Sikap Tegas dan Bijaksana dari Para Pemimpin.
a.       Pemimpin dan kepemimpinan selalu terkait erat dengan seni dan ilmu serta pengalaman. Seorang pemimpin adalah "jiwa" bagi kelompok manusia yang dipimpinnya. Karena itulah pada diri seorang pemimpin dituntut kemampuannya untuk bisa mempengaruhi, meyakinkan, menyadarkan, mengajak, dan menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya, untuk melakukan dengan secara sadar dan ikhlas serta penuh semangat dan kesungguhan, segala hal yang diperlukan bagi tercapainya tujuan yang telah disepakati bersama. Adapun cara seorang pemimpin melakukan semua hal tersebut, tergantung dari seni dan ilmu serta pengalamannya dalam memilih metoda yang dinilainya paling tepat, dengan mempertimbangkan berbagai aspek menurut dimensi ruang, waktu dan kondisi lingkungan yang-menyertainya.

b.       Prinsip kepemimpinan yang paling utama adalah : Keteladanan, Pemberi semangat, Pengayom, Tegas, dan Bijaksana. Untuk itulah diperlukan sikap kepemimpinan dasar sebagai penunjangnya, seperti : Bertaqwa, Berani, Mendahulukan mana yang lebih penting, Hemat, Sederhana, Terbuka, Waspada, Loyal, dan Legawa. Serta didukung pula oleh berbagai sifat kepemimpinan yang pokok, seperti : Berpengetahuan luas, Cerdas, Kreatif, Mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di segala situasi, Adil, Dapat dipercaya, Tabah dan ulet, Optimistik, Ceria dan penuh semangat, Tidak mementingkan diri sendiri, Jujur, dan Mandiri. Sebagai sebuah seni, kepemimpinan harus bisa diterapkan secara kenyal dan luwes oleh seorang pemimpin, pada tempat dan waktu serta kondisi yang tepat, sebagaimana layaknya sifat matahari yang terkadang panas menyengat dan di saat lain menghangatkan memberikan energi kehidupan. Atau seperti bulan yang memancarkan sinar yang lembut, sejuk, dan teduh dalam menerangi kegelapan tetapi menyimpan misteri. Atau seperti bintang yang menjadi penunjuk arah bagi manusia dan penghias langit luas yang gelap gulita. Atau bagaikan angin yang mengisi setiap ruang kosong, membawa kesejukan dan kesegaran, walau kadang bisa berubah menjadi angin badai yang menakutkan. Atau seperti awan yang yang kadang tampil seram menakutkan, dan di lain kali tampil dengan ceria bersahabat menjadi sumber inspirasi. Atau laksana api yang panas membakar tak kenal kompromi, tetapi terkadang  menyala lembut mematangkan masakan, dan menghangatkan tubuh di kala cuaca dingin. Atau bagaikan lautan yang tenang dan dingin terhampar luas membuka hati, menampung apa saja yang dialirkan oleh sungai, tetapi siap mengamuk dengan gelombangnya yang bergulung-gulung. Atau seperti bumi yang kokoh sentosa tak banyak bicara, menghasilkan aneka hasil bumi sumber kehidupan/tetapi tiba-tiba bisa menghadirkan gempa bumi, letusan gunung, atau tanah longsor.

c.       Diantara prinsip kepemimpinan yang paling utama tadi, ketegasan dan kebijaksanaan merupakan prinsip yang paling fundamental. Dari keduanya mengalir berbagai prinsip, sikap, dan sifat kepemimpinan yang dibutuhkan oleh setiap pemimpin. Dan khususnya menghadapi kondisi multidimensi setiap pemimpin hendaknya berpegang pada prinsip dasar yang paling fundamental ini, serta mampu mengaplikasikannya secara berimbang. Ketegasan dan keberanian tanpa dilengkapi kebijaksanaan dan pertimbangan, hanya akan menghasilkan kemenangan sesaat. Sebaliknya kebijaksanaan dan pertimbangan tanpa diimbangi dengan ketegasan dan keberanian, akan membuahkan sikap ragu-ragu dan tidak ada rasa percaya diri. Dan bila dua hal seperti itu menghinggapi diri para pemimpin suatu bangsa, maka masyarakat bangsa yang dipimpinnya, di satu sisi akan menjadi manusia-manusia yang suka berbuat nekad tanpa perhitungan, dan di sisi lain akan menjadi manusia-manusia yang rendah diri dan takut serta ragu menghadapi setiap permasalahan dan tantangan. Yang menjadi sasaran utama adalah mengubah sistem nasional suatu negara dan seluruh aspek kehidupan bangsanya, termasuk menyerang sistem berfikir manusianya, terutama para pemimpin dan tokoh-tokohnya, serta kalangan kaum intelektual dan insan media massanya. Oleh karena itulah, faktor kepemimpinan dalam menghadapi era yang penuh tantangan multidimensi menjadi begitu penting, karena hakikat pemimpin adalah "jiwa" atau "run" bagi masyarakat bangsa yang dipimpinnya.

2.       Peran Kepemimpinan Masa Depan.
Strategi negara luar untuk menghancurkan negara-negara kecil, menembus sistem nasional suatu negara serta sistem berfikir manusia-manusianya, terutama para pemimpin, tokoh, kaum intelektual, dan insan media massa. Oleh karena itu di era yang penuh tantangan dan ancaman dari strategi yang dilancarkan oleh Kekuatan-kekuatan Besar Dunia, kita memerlukan sosok Pemimpin dan Kepemimpinan yang  berkemampuan, tegas,  berani,  bijaksana,  penuh pertimbangan, serta memiliki komitmen yang kuat terhadap masa depan NKRI. Pemimpin dan Kepemimpinan dari tingkat Pusat hingga ke tingkat Daerah paling bawah, haruslah orang-orang yang cerdas, kuat, berwibawa, memiliki leadership yang mantap, memahami manajemen pemerintahan dan pembangunan, bisa dipercaya (bersifat amanah), menjunjung tinggi norma hukum, budaya, dan agama, berakhlaq mulia, komunikatif, akomodatif, dan responsif. Dalam menyikapi situasi dan kondisi yang serba sulit hendaknya ia bisa bersikap luwes, dalam arti tetap memegang semangat idealistik tetapi harus mampu bertindak realistik. Di satu sisi ia harus mampu memanfaatkan situasi dan kondisi multidimensi ini bagi sebesar-besarnya kepentingan nasional kita, dan di sisi lain harus pula mampu menangkal berbagai ancaman maupun ekses yang berpotensi membahayakan kepentingan nasional serta mengancam eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itulah kita membutuhkan Pemimpin yang cerdas dalam arti luas.
a.       Kepemimpinan yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Cerdas secara intelektual artinya memiliki kemampuan akal dan olah penalaran yang sehat dan rasional, dengan menggunakan instrumen logika akal dalam mengolah fakta empirik, guna menghasilkan kebenaran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Sedangkan cerdas secara emosional artinya memiliki kemampuan olah rasa, dengan menggunakan instrumen estetika hati nurani, guna mendapatkan keindahan dan kesempurnaan dalam setiap sikap dan tindakannya. Adapun cerdas secara spiritual artinya memiliki kemampuan olah jiwa dalam berkehendak, dengan menggunakan instrumen etika jiwa yang bersih dan suci, guna mendapatkan semangat dan kebaikan dalam melakukan setiap tindakan.

b.       Kepemimpinan yang Kuat dan Berwibawa.
Kuat bukan hanya dalam arti fisik dan mental, tetapi juga kuat dalam memegang teguh cita-cita dan tujuan nasional. Juga kuat secara politis, dalam arti memperoleh dukungan politik yang diperlukan untuk bisa menjalankan kepemimpinannya secara wajar. Serta mendapatkan pengakuan dari rakyat, dari kekuatan politik, maupun dari kalangan internasional. Berwibawa sangat erat kaitannya dengan kepribadian dan akhlaq seseorang, sikap dan penampilannya, serta pengalaman dan prestasinya dalam berjuang mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Selain itu terkait pula dengan kecerdasannya secara intelektual, emosional, dan spiritual, serta keluasan jaringan kerjasamanya dalam lingkup nasional/ regional, dan internasional.

c.       Kepemimpinan yang Berkemampuan Memimpin.
Berkemampuan memimpin artinya memiliki jiwa dan pembawaan kepemimpinan yang kuat. la menguasai seni dan ilmu kepemimpinan, baik atas dasar bakat pembawaan maupun atas dasar pengalaman dan proses pembelajaran yang dilakukannya. la disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan, dan dicintai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Dengan kepemimpinan yang kuat, ia akan lebih mudah mengajak, mengarahkan, dan menggerakkan rakyatnya untuk melakukan sesuatu walaupun mungkin terasa pahit, bagi tercapainya dta-dta dan tujuan nasional bangsa ini.

d.       Kepemimpinan yang Berkemampuan Manajerial.
Kemampuan manajerial adalah kemampuan merencanakan, menyiapkan, mengatur, mengarahkan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan melakukan penyempurnaan. Seorang Pemimpin hendaknya benar-benar   menguasai   Manajemen   Pemerintahan   dan   Manajemen Pembangunan. Tanpa penguasaan hi, ia akan sangat tergantung kepada para pembantunya dalam setiap menetapkan kebijakan dan mengambil keputusan. Atau cenderung melempar tanggungjawab kepada para pembantunya manakala timbul suatu permasalahan.

e.       Kepemimpinan yang Terpercaya Mengemban Amanah Kepemimpinannya.
Memimpin sebuah negara atau wilayah tertentu atau institusi tertentu, pada hakikatnya adalah mengemban amanah (kepercayaan). Oleh karena itu, seorang Pemimpin hendaknya senantiasa konsekuen dan konsisten dalam menjalankan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya. Jangan sampai ia berkhianat dengan menyalahgunakan kewenangannya atau cenderung berbuat sewenang-wenang. Ingatlah kultur dasar masyarakat kita yang cenderung selalu patuh dan taat kepada Pemimpinnya, tetapi jika dikhianati mereka akan dengan cepat berbalik menjadi melawan dan beringas menjurus ke perbuatan anarkis.

f.        Kepemimpinan yang Memahami, Mencintai, dan Peduli kepada Bangsa dan NKRI.
Pemimpin hendaknya benar-benar memahami, menghayati, mencintai, serta peduli kepada bangsa dan negara yang amat kompleks dan plural ini, berikut segala kelebihan dan kekurangannya, keunggulan dan kelemahannya, dengan sesempurna-sempurnanya dan setotal-totalnya. Sebagai pemimpin sebuah bangsa pejuang, ia harus memiliki jiwa dan semangat perjuangan. la harus memahami benar sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pengorbanan yang telah diberikan oleh para pahlawan kita, gigihnya perjuangan dan pengabdian para pendahulu kita, sehingga dalam mengambil keputusan strategik tidak mudah bertindak gegabah. Di sisi lain, iapun akan lebih mudah mengajak dan membawa rakyatnya untuk mencintai dan peduli kepada masa depan bangsa dan negara ini, serta bersama-sama berjuang mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya.

g.       Kepemimpinan yang menjunjung tinggi norma hukum, norma budaya dan norma agama.
Dalam suatu masyarakat bangsa yang sedang dilanda krisis akhlaq, maka upaya untuk meluruskannya harus dilakukan melalui tiga jalur secara silmultan : jalur hukum, jalur budaya, dan jalur agama. Oleh karena itu, seorang Pemimpin pertama-tama harus menjunjung tinggi ketiga jalur tersebut. Bukan hanya menjunjung tinggi sekedar dalam arti memberikan apresiasi, tetapi juga menerapkan secara konsekuen ketiga jalur itu dalam kehidupan pribadinya selaku Pemimpin. Serta berusaha menerapkannya dalam bentuk kebijakan politik. Termasuk kebijakan dalam menghadapi tindak korupsi, kolusi, manipulasi, mark up, nepotisme, pungli, suap, penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penyimpangan pajak, perdagangan dan penyalahgunaan narkoba, pemakaian miras, perdagangan wanita dan anak-anak, perjudian, komersialisasi seks, serta pertunjukan pornografi dan pornoaksi maupun keterbukaan perilaku seksual dan erotisme yang digelar dan ditayangkan di media massa. Dengan demikian, rakyat akan lebih mudah diajak untuk mengormati serta mematuhi norma hukum, budaya, dan agama.

h.       Kepemimpinan yang berbudi pekerti luhur dan berakhlaq mulia.
Memimpin suatu masyarakat bangsa yang sedang mengalami krisis akhlaq dan budi pekerti, harus disikapi dengan upaya membersihkan mereka dari akhlaq yang tercela, kemudian mengisinya dengan akhlaq yang terpuji. Dan itu baru efektif jika Sang Pemimpin terlebih dulu terbebas dari segala macam akhlaq dan perilaku yang tercela, dan tampil dengan akhlaq dan perilaku yang terpuji. Dengan demikian segala instrumen aturan yang mengarah ke sana akan lebih dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya.

i.        Kepemimpinan yang komunikatif, empatif, aspiratif, akomodatif, dan responsif.
Di era saat ini, diperlukan Pemimpin yang lebih terbuka, lebih komunikatif dengan rakyatnya, mempunyai sikap tenggang rasa (empatif) atas kesulitan yang dihadapi masyarakatnya, mau menampung dan mempertimbangkan aspirasi mereka menurut sistem dan prosedur yang berlaku, serta senantiasa peka dan tanggap terhadap berbagai peristiwa maupun gelagat kejadian yang datang setiap waktu.

j.        Kepemimpinan yang tegas dan bijaksana.
Menghadapi berbagai ragam permasalahan dan tantangan serta ancaman di era saat ini, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu bersikap tegas dan berani bertindak secara proporsional, dalam arti selalu diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan sikap bijaksana yang penuh dengan pertimbangan dari berbagai aspek. Jika hanya sekedar berani dan tegas tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan, maka yang terjadi adalah kemenangan sesaat. Sedangkan jika hanya sekedar bijaksana dan banyak pertimbangan tanpa disertai oleh sikap berani dan tegas/maka yang terjadi adalah sikap ragu-ragu dan rendah diri serta tiadanya rasa percaya diri, yang akan membawa kepada kekalahan sistematik berkepanjangan, menjadi sasaran empuk yang dilancarkan oleh Kekuatan-kekuatan Besar Dunia. Termasuk dalam pengertian ini adalah ketegasan dan kebijaksanaannya dalam menangani masalah korupsi, kolusi, manipulasi, mark up, nepotisme, pungli, suap, penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penyimpangan pajak, perdagangan dan penyalahgunaan narkoba, pemakaian miras, perdagangan wanita dan anak-anak, perjudian, komersialisasi seks, serta pertunjukan pornografi dan pornoaksi maupun keterbukaan perilaku seksual dan erotisme yang digelar dan ditayangkan di media massa.

PENUTUP.

Indonesia sudah masuk ke dalam perangkap situasi dan kondisi yang serba sulit Karenanya kita memerlukan Kepemimpinan yang memahami persis bahaya dan ancaman ini, serta yang mampu mengajak dan mengarahkan bangsa ini menyikapi ancaman tersebut secara tepat dan cerdas, menuju tercapainya cita-cita dan tujuan nasional kita.  Siapapun yang nantinya terpilih dan mengemban amanah untuk memimpin bangsa ini, hendaknya menyikapi situasi dan kondisi Indonesia secara tepat dan bijak, serta menyikapinya secara proporsional, demi keselamatan perjuangan dan pembangunan serta perjalanan bangsa dan negara ini ke depan. Termasuk bagi para pemimpin di daerah, baik formal maupun non formal, untuk bisa memberikan pemahaman secara tepat kepada masyarakat di daerahnya masing-masing, serta menyikapinya dengan tepat pula dalam melakukan pembinaan wilayah, serta dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.
Semoga ini ada manfaatnya bagi bangsa Indonesia yang sedang dilanda oleh krisis multi dimensi berkepanjangan. Dan kita bangsa Indonesia diberikan kekuatan, kesabaran, dan ketabahan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam menghadapi situasi ini, serta senantiasa dilimpahi oleh rahmat dan ridha-Nya, petunjuk dan bimbingan-Nya, serta perlindungan dan inayah-Nya

Palembang, Oktober 2006
Penulis

0 komentar:

Posting Komentar