SOSOK KEPEMIMPINAN
MASA DEPAN
Oleh : LETKOL INF EKO PRAYITNO
Pengantar.
Telah lebih
dari setengah abad Indonesia merdeka, tetapi negara yang memperoleh
kemerdekaannya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh
keinginan luhur seluruh rakyatnya itu, ternyata belum dapat mewujudkan cita-citanya
menjadi negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Negeri ini terjerat oleh hutang yang semakin menumpuk, ancaman disintegrasi
bangsa, kuatnya pengaruh negatif dan destruktif gaya hidup global yang
berkembang di masyarakat, menjamurnya pemakaian narkoba, miras, perjudian,
pornografi dan pornoaksi, meningkatnya tindak kriminalitas,
kian besarnya
campur tangan asing dalam masalah-masalah dalam negeri, makin merebaknya paham materialisme,
liberalisme, kapitalisme, konsumerisme, permisivisme, dan hedonisme di
tengah-tengah maraknya tindakan tercela korupsi, kolusi, manipulasi, mark
up, nepotisme, pungli, suap, penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan
hutan, penyimpangan pajak, dan semacamnya, serta terus bertambahnya jumlah
penduduk miskin dan angka pengangguran yang terus membengkak, dengan berbagai
dampak negatifnya, terutama dalam aspek keamanan serta akhlaq dan perilaku
masyarakat.
Reformasi 1998
yang diharapkan dapat mengubah dan memperbaiki keadaan, ternyata justru
menghadirkan persoalan-persoalan baru yang kian menambah keterpurukan negara
yang kaya raya ini, dan hanyut tenggelam dalam krisis multi dimensi. Reputasi dan citra Indonesia serta harkat dan martabat
bangsa ini di mata dunia internasional merosot drastis. Ironisnya,
kecenderungan perilaku para pemimpinnya justru lebih terfokus pada masalah
bagi-bagi kekuasaan, kedudukan, dan fasilitas, serta berupaya memanfaatkan
setiap peluang yang ada demi kepentingan sesaat bagi partai atau kelompoknya,
bukan demi kepentingan bangsa dan rakyat negeri ini dalam jangka panjang.
Kurang tergambarkan adanya sense of crisis dalam sikap dan perilaku para
pemimpin di negeri ini. Terlihat samar sikap kepedulian dan keberpihakan para pemimpin
kepada nasib rakyat, terhadap masa depan bangsa dan negaranya. Yang justru
menonjol adalah usaha memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dan
krisispun terus berjalan berlarut-larut.
Para pemimpin
banyak yang terlena dalam euphoria reformasi, dan tidak menyadari bahwa pada
saat yang bersamaan ada kekuatan-kekuatan besar dunia yang berusaha mengail di
air keruh, dengan melancarkan multi aksi di berbagai aspek kehidupan bangsa
ini, sebagai bagian dari strategi yang mereka jadikan andalan dalam meneruskan
dominasi dan hegemoninya atas negara-negara berkembang yang kaya dan
berpotensi. Padahal betapa sangat dibutuhkan adanya kesadaran dan peran para
pemimpin dalam mempersepsi gelagat perkembangan
kondisi lingkungan yang terus
berkembang, agar bangsa dan negara ini tidak semakin terjerat dan terbelenggu
dalam ketidakberdayaan, serta pada gilirannya terperosok ke dalam jurang
kehancuran.
Bangsa
Indonesia tentunya tidak menginginkan, jika negeri yang oleh Allah dianugerahi
tanah yang subur, terkenal kaya raya akan sumber daya alamnya, berada pada
posisi strategis geo-politik dan geo-ekonomi dunia, dengan pola iklim dan cuaca
yang amat kondusif bagi kehidupan, dengan pemandangan alam yang indah sebagai
daya tarik para wisatawan, serta memiliki keanekaragaman warna-warni budaya
maupun flora dan fauna ini, kemudian menjadi sebuah negara yang tergadaikan
oleh hutang yang kian menumpuk, dengan banyak penduduknya yang miskin,
kerusuhan merebak dimana-mana, masyarakatnya tak lagi mengindahkan norma hukum,
norma budaya, dan norma agama. Kita sebagai bangsa besar harus bangkit,
menemukan kembali jatidiri kita selaku bangsa yang berakhlaq dan bermartabat,
maju bersama dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan
kekeluargaan, kerukunan dan gotong royong.
Untuk itu
semua, kita memerlukan sosok Kepemimpinan dan sosok pemimpin-pemimpin yang
mampu mengarahkan, mengantar, dan membawa bangsa dan negara ini menuju
tercapainya cita-cita Indonesia Raya yang jaya dan sejahtera, menjadi bangsa
dan negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Serta
senantiasa memegang teguh komitmennya untuk melakukan fungsi-fungsi
pemerintahan negara yang sekaligus merupakan tujuan nasional kita, yakni :
Membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tulisan ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran, tentang betapa peran Kepemimpinan yang
tetap mengacu pada nilai-nilai luhur Pancasila sangatlah penting, dalam
mengarahkan dan membawa bangsa ini mampu menghadapi krisis multi dimensi yang
berkepanjangan, yang sarat diwarnai dengan nuansa perebutan kekuasaan, dalam
jiwa dan semangat ke-Indonesia-an, persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan
kekeluargaan, kerukunan dan gotong royong, sehingga bangsa Indonesia dapat
segera bangkit kembali dan pulih menjadi bangsa yang penuh rasa percaya diri
dan bermartabat, dalam sikap kemandirian yang tak terlalu tergantung dan
dikendalikan oleh bangsa lain, serta menempati posisi interdependensi dalam
kesetaraan di arena percaturan global, guna melanjutkan perjuangan dan
perjalanannya ke depan. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
masukan sumbangan pikiran bagi bangsa Indonesia yang sedang dilanda oleh krisis
multi dimensi, khususnya bagi para penyelenggara negara di tataran legislatif,
eksekutif dan yudikatif, agar dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat
dalam menghadapi berbagai macam permasalahan dan tantangan nasional, dalam arti
senantiasa bersikap cerdas, waspada, cermat, dan hati-hati, serta tetap
berpegang teguh pada jatidiri ke-Indonesia-an kita, yaitu nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
DAMPAK
KRISIS MULTIDIMENSI.
Sungguh sangat
disayangkan, bahwa di tengah-tengah tekanan yang begitu keras terhadap negara
kita, yang diawali dengan penggoyangan sektor moneter, kemudian meluas ke
sektor ekonomi riel, dan selanjutnya berkembang menjadi krisis kepercayaan dan
krisis politik serta krisis budaya, justru disikapi oleh para elit politik dan
beberapa kelompok kepentingan di negeri ini, untuk mengambil kesempatan demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan yang lebih
besar dalam jangkauan jauh ke depan. Terutama dihadapkan pada demikian
dahsyatnya dan bertubi-tubinya tekanan multi dimensi dari luar terhadap negara
kita.
Akibat dari
semua itu telah kita alami dan kita saksikan bersama hingga saat ini, betapa
krisis ekonomi dan politik itu kemudian semakin meluas ke krisis keamanan dan
ancaman disintegrasi bangsa, dan bahkan telah berkembang hingga ke krisis
akhlaq masyarakat, yang oleh para pemimpin negeri ini kurang mendapatkan porsi
perhatian yang memadai untuk menanganinya. Norma hukum, norma budaya, dan norma
agama, seperti tak lagi diindahkan dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat.
Perdagangan dan penyalahgunaan Narkoba dan Miras telah merebak ke hampir
seluruh kalangan masyarakat hingga ke anak-anak. Pornografi dan pornoaksi serta
keterbukaan perilaku seksual dan erotisme, sepertinya sudah bukan lagi menjadi
sesuatu hal yang tabu dalam kehidupan keseharian masyarakat yang berpredikat
"agamis" dan "religius". Dekadensi moral dan kemerosotan
akhlaq masyarakat telah hadir mewarnai hampir pada seluruh penayangan dan
penampilan di media massa , maupun pada berbagai
pergelaran serta jaringan media komunikasi dan informasi massa . Demikian pula dengan semakin maraknya
pemberitaan gosip, ghibah, dan fitnah secara terang-terangan yang cukup
meresahkan masyarakat.
Rasa
kepedulian dan tenggangrasa di kalangan para pemimpin dan tokoh serta
orang-orang yang berkemampuan juga terlihat makin pudar. Rakyat seperti merasa
kehilangan pemimpin dan tokoh yang bisa dijadikan sebagai pengayom dan panutan.
Mereka seperti tak lagi memiliki rasa penghargaan dan kepercayaan kepada para
pemimpin formal maupun non formal. Bangsa ini seperti telah kehilangan rasa
percaya diri dan bahkan telah kehilangan jatidirinya. Reformasi yang bergulir
justru telah melahirkan kecenderungan munculnya perpecahan, pertikaian, dan
disintegrasi bangsa. Dalam dimensi vertikal, di berbagai wilayah muncul
kelompok-kelompok yang mengajukan tuntutan obsesif untuk memisahkan diri dari
NKRI. Dalam dimensi horisontal, muncul pula berbagai ragam tuntutan akan hak
yang lebih besar dan lebih luas, antara lain dari kalangan kaum perempuan,
buruh, petani, nelayan, pengusaha kecil, karyawan, kelompok keturunan, kelompok
profesi, elemen daerah, dan sebagainya. Mencerminkan kompleksitas kekalutan
dalam kehidupan mereka serta sikap perlawanan yang berbau rasa kecewa, merasa diperlakukan
tidak adil, iri hati, ketidak berdayaan, ketidaksabaran, kenekadan, ambisi,
kurang berfungsinya akal-budi-nurani, dan menurunnya kualitas akhlaq dan budi
pekerti.
Reformasi yang
seharusnya diisi dengan langkah-langkah perubahan signifikan, guna menghasilkan
kondisi kehidupan nasional yang lebih baik, justru meluncur lepas jalur alias
kebablasan nyaris tanpa kendali. Sudah tak jelas lagi mana permasalahan pokok
yang memerlukan prioritas penanganan, dan mana permasalahan sampingan yang bisa
ditangguhkan. Mana yang makro dan mana yang mikro, mana yang tergolong masalah
strategik konsepsional dan mana yang bersifat teknis operasional. Perubahan
juga telah dipersepsikan secara keliru, sebagai asal sekedar berubah, asal bisa
menampilkan sesuatu yang baru, yang berbeda dengan sebelumnya. Tidak peduli
apakah lebih baik dari sebelumnya atau malah lebih buruk. Sungguh menyedihkan,
bahwa hal ini juga terjadi pada proses amandemen UUD 1945 maupun revisi atas
berbagai peraturan perundangan, serta berbagai kebijakan restrukturisasi atas
kelembagaan dan asset-asset negara.
Masa lalu dan
pihak-pihak yang terkait dengannya, selalu dijadikan kambing hitam atas setiap
ketidakberhasilan melakukan sesuatu, sebagai upaya pengalihan perhatian
masyarakat dan pelampiasan rasa frustrasi, atau sekedar untuk menutupi
kekurangan yang ada. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa reformasi juga dipersepsi
secara salah, sebagai ajang pelampiasan rasa dengki, iri hati, dendam, buruk
sangka, dan fitnah. Sebuah rangkaian penyakit rohani yang sangat berbahaya,
apabila sampai melanda sebuah masyarakat bangsa, tanpa adanya penyadaran dan
upaya perbaikan yang dimotori oleh para pemimpinnya. Disinilah pentingnya peran
pemimpin dalam melakukan pelurusan atas hal-hal yang bengkok, serta memberikan
dorongan semangat dan tekad bagi bangsanya, untuk melakukan hal-hal yang benar
dan baik serta terpuji, dalam sikap yang dilandasi oleh kebenaran akal,
kebaikan kehendak jiwa, dan keluhuran yang terpancar dari hati nurani. Disertai
keberanian dan ketegasan yang selalu diselaraskan dan dipadukan dengan
pertimbangan dan kebijaksanaan.
PERMASALAHAN POKOK KEPEMIMPINAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA
1. Peran
Kepemimpinan Dalam Upaya Pencapaian Tujuan.
Hakikat
kepemimpinan adalah seni dan ilmu dalam mempengaruhi, mengajak, mengarahkan,
dan menggerakkan manusia yang dipimpinnya, untuk secara sadar dan ikhlas serta
penuh ketaatan dan kepatuhan, mau melaksanakan sesuatu bagi tercapainya tujuan
bersama.
Menjadi jelas bahwa peran Pemimpin dalam suatu masyarakat
bangsa sangatlah penting, karena ia merupakan "jiwa" atau "ruh”-nya
masyarakat bangsa yang bersangkutan, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan
nasionalnya. Bila Pemimpinnya menjalankan Kepemimpinannya secara benar, baik,
dan beradab, maka bangsa dan negara yang dipimpinnya akan berjalan mengarah
kepada keberhasilan, makin mendekati cita-cita dan tujuan nasionalnya. Demikian
pula sebaliknya.
Apa yang dihadapi Indonesia sejak tahun 1998 sungguh
sangat memprihatinkan. Negeri ini mengalami krisis kepemimpinan. Berganti-ganti
Pemimpin dan yang terjadi justru Reformasi yang kebablasan, hilangnya jatidiri,
kemerosotan akhlaq, serta ancaman disintegrasi bangsa, yang semakin memperjauh
jarak menuju tercapainya cita-cita dan tujuan nasional yang didambakan oleh
seluruh rakyat. Indonesia
benar-benar telah mengalami krisis kepemimpinan.
2. Terjadinya Krisis
Kepemimpinan.
Sejak
lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998, Indonesia mengalami krisis
kepemimpinan nasional berlarut-larut. Setidaknya dalam pengertian berikut :
a. Kepemimpinan nasional yang tidak memenuhi
persyaratan memimpin bangsa dan negara yang sangat plural dan sarat dengan
aneka permasalahan.
b. Kepemimpinan nasional yang tidak mampu
mengendalikan bangsa dan negara yang dipimpinnya.
c. Banyaknya manusia yang ingin memegang
tampuk kepemimpinan nasional tanpa mengukur diri tentang kemampuan dan
integritas serta akseptabilitasnya.
Krisisnya
kepemimpinan nasional yang menyebabkan tidak efektifnya penyelenggaraan
pemerintahan negara di tingkat Pusat tersebut, berdampak pula pada menurunnya
efektivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan di Daerah-daerah. Dan hal itu
berpengaruh besar dalam penciptaan kondisi ketidakpercayaan masyarakat kepada
para pemimpinnya, baik formal maupun non formal. Hal ini wajar karena pada
hakikatnya manusia yang berhimpun dalam sebuah kelompok masyarakat memerlukan
adanya Pemimpin yang berperan mengarahkan, menyemangati, dan mengayomi.
Penyebab utama
dari terjadinya krisis kepemimpinan tersebut adalah :
a. Terlalu lamanya Presiden Soeharto
memimpin negara ini, sehingga di satu sisi makin bertambah banyak musuh-musuhnya,
dan di sisi lain makin berkembang intrik-intrik dan persaingan kepentingan
diantara orang-orang dekatnya yang mempunyai
ambisi kekuasaan.
b. Tidak adanya proses kaderisasi kepemimpinan nasional yang
dilakukan secara terbuka, seperti yang berlaku di Malaysia dan Singapura misalnya.
c. NKRI yang sangat kompleks dan plural ini
memerlukan sosok Pemimpin yang paripurna, yang hal itu tak mudah dipenuhi oleh
seorang manusia biasa.
d. Kepemimpinan nasional ditetapkan atas
dasar pertimbangan kepentingan elit politik dan kelompok-kelompok politik
melalui kompromi dan tawar-menawar politik, atau sekedar mendapat "bola
muntah", bukan atas dasar kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang
dimilikinya.
e. Masyakat bangsa ini berikut para tokoh
dan para pemimpinnya sedang mengalami krisis jatidiri dan krisis akhlaq.
3. Kurangnya
Keteladanan dari Para Pemimpin.
Salah
satu prinsip kepemimpinan yang paling utama adalah Keteladanan. Lebih-lebih
bagi masyarakat bangsa Indonesia yang paternalistik. Sehingga sangat tepatlah
ajaran kepemimpinan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro : "Ing ngarsa
sung tuladha" (Di depan memberi teladan). Atau seperti pidato Bung Karno :
"Satunya kata dan perbuatan". Bagaimana rakyat yang dipimpinnya mau
patuh dan hormat kepada Pemimpinnya, jika ia menganjurkan pemberantasan KKN,
tetapi diri dan/atau keluarganya melakukan KKN secara terang-terangan. Atau
meminta rakyatnya hidup hemat tetapi dia sendiri dan keluarganya hidup
berboros-boros, bahkan dengan menggunakan anggaran dan fasilitas negara. Atau
menganjurkan hidup sederhana tetapi kehidupan rumahtangga dan keluarganya penuh
dengan kemewahan. Menganjurkan agar mencintai budaya bangsa sendiri, tetapi
dirinya malah terkagum-kagum kepada budaya asing dengan melalaikan budaya
sendiri. Atau meminta rakyatnya supaya mencintai dan menggunakan produk bangsa
sendiri, tetapi Sang Pemimpin justru tak malu-malu menggunakan produk luar,
mulai dari pakaiannya, makanannya, perabotan rumahnya, dan juga mobilnya, serta
berbagai macam produk dan jasa lainnya. Menganjurkan agar diperkuat persatuan
dan kesatuan, tetapi si Pemimpin justru menunjukkan sikap dan ucapan yang
memancing terjadinya perpecahan. Mengecam praktik politik uang, tetapi
membiarkan kelompok politiknya melakukan hal itu. Meminta agar semua pihak
lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas semua kepentingan
kelompok, tetapi dirinya
masih mementingkan kelompoknya,
bahkan tak mau melepaskan diri dari jabatan Ketua Umum partai politik meskipun
telah mengemban amanah sebagai Presiden atau Wapres atau Ketua MPR atau Ketua
DPR. Dan masih banyak lagi contoh-contoh ketiadaan Keteladanan para Pemimpin
yang disaksikan oleh masyarakat. Bukan saja di kalangan eksekutif, tetapi juga
di kalangan legislatif dan yudikatif, bahkan di kalangan para pemimpin non
formal.
Penyebab
utama mengapa para Pemimpin kurang berperan menjadi teladan bagi rakyatnya
adalah, pertama masalah struktur dan sistem, kedua masalah kultur dan akhlaq.
Yang pertama terkait dengan aspek struktur dan sistem, karena si Pemimpin
dikondisikan oleh lingkungan struktur dan sistemnya, untuk melakukan sesuatu
yang terkadang menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan, dengan dalih
"perkecualian bagi si Pemimpin atau bahkan dengan dalih "demi
kewibawaan dan kelangsungan kepemimpinan", atau malahan berdalih
"demi kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan negara".
Bagi Pemimpin yang pribadinya kurang kuat akan mudah tergelincir dalam sikap
dan perilaku yang jauh dari peran Keteladanan tersebut. Namun bagi Pemimpin
yang berintegritas dan teguh dalam memegang prinsip pribadinya, ia akan bisa
memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan
mana yang buruk, serta mana yang patut dan mana yang tidak patut.
Yang
kedua terkait dengan kultur dan akhlaq. Masyarakat cenderung memaafkan atau
minimal bersikap tak peduli terhadap Pemimpin yang kurang Keteladanannya,
sepanjang masih dalam batas yang bisa ditoleransi, karena menganggap hal itu
sebagai "hak istimewanya" seorang Pemimpin. Masyarakat bisa menerima
seorang Pemimpin yang berpidato di tempat yang teduh, sementara rakyatnya
berdiri di bawah panas terik matahari. Atau si Pemimpin memakai baju, sepatu,
dan sabuk buatan luar negeri, sementara rakyat mengenakan pakaian sederhana
produk lokal. Atau si Pemimpin merangkap-rangkap aneka jabatan, sementara
banyak orang berkemampuan yang tidak mendapat kepercayaan mengemban suatu
jabatan. Atau si Pemimpin punya aneka macam usaha dengan aneka jenis
penghasilan, sementara rakyat kesulitan untuk mencari makan karena sempitnya
lapangan kerja. Hal seperti ini mengakibatkan si Pemimpin berlaku
"biasa-biasa" saja, meski tidak menjalankan fungsi Keteladanannya
sebagai seorang Pemimpin. Apalagi budaya malu belum tertanam kuat pada sebagian
masyarakat kita, termasuk di kalangan para pemimpinnya. Akan tetapi pada
dasarnya, semuanya terpulang kepada akhlaq si Pemimpin. Jika si Pemimpin orang
yang berakhlaq mulia dan berbudipekerti luhur, maka dia akan bisa mengendalikan
sikap dan perilakunya, selaku Pemimpin yang patut diteladani oleh rakyatnya.
Dan ia akan selalu berusaha untuk berperan sebagai teladan bagi rakyat yang
dipimpinnya.
4. Pergantian
Kepemimpinan Nasional yang Cenderung Diwarnai oleh Ketegangan dan Kekerasan.
Tidak ada pergantian Kepemimpinan Nasional dan bahkan
beberapa di tingkat Lokal di negeri ini, yang tidak diwarnai oleh ketegangan,
keributan, kerusuhan, dan kekerasan. Sebut saja pergantian kepemimpinan dari
Presiden Soeharto kepada Habibi, dari Habibi kepada Megawati yang gagal dan kemudian
dikompromikan dialihkan ke Gus Dur, dan dari Gus Dur ke Megawati. Ini merupakan
cermin dari belum dewasanya para elit politik di negeri kita dalam berperilaku
politik, maupun belum adanya pemahaman yang benar di kalangan masyarakat
tentang kehidupan politik yang benar, baik dan beradab.
Penyebab utamanya adalah karena akhlaq masyarakat termasuk
akhlaq para pemimpinnya yang mengalami kemerosotan, sebagai akibat dari
gencarnya serangan pemikiran luar yang berhasil menembus sistem berfikir dan
berperilaku masyarakat yang kemudian melahirkan iklim kebebasan tanpa batas,
yang menjurus ke permisivisme dan anarkisme. Ini terkait dengan kondisi kultur
politik kita yang belum mapan, yang mencakup : pendidikan politik/proses
politik, etika politik, dan partisipasi politik. Dalam kaitan dengan struktur
politik, layak dikaji efektivitas dan kemanfaatan sistem multi partai, yang
bukan saja semakin memecah belah struktur politik ke dalam kelompok-kelompok
lebih kecil, yang makin menyulitkan pembinaan dan pengendaliannya. Tetapi juga
berimplikasi pada pemborosan biaya penyelenggaraan politik, serta memberikan
pendidikan politik yang salah kepada masyarakat, untuk lebih terfokus pada
pergunjingan dan persaingan serta pertarungan politik, dan melalaikan
kewajibannya membangun negeri ini melalui kerja nyata diberbagai sektor
lapangan kerja.
5. Kaderisasi
Kepemimpinan yang Kurang Terstruktur.
Sulitnya mencari pemimpin yang
berkemampuan, berakhlaq, mendapat pengakuan dan kepercayaan rakyat, serta
memiliki komitmen yang tinggi terhadap masa depan bangsa dan negaranya, adalah
disebabkan oleh sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur politik yang masih
lemah. Di negara-negara maju, partai politik dijadikan jalur untuk
memperjuangkan aspirasi politik rakyat pendukungnya, sekaligus menjadi tangga
pembelajaran untuk menjadi pemimpin politik, dari tingkat Anggota Legislatif
hingga ke tingkat paling puncak, yaitu Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan.
Para politisi umumnya terdiri atas orang-orang yang sudah mapan dari sisi
kehidupan sosialnya maupun dari sisi kemampuan intelektualnya. Sementara di
Indonesia, partai politik cenderung dijadikan ajang untuk mencari penghidupan,
dengan orientasi materi dan kekuasaan, sehingga semangat memperjuangkan
aspirasi rakyat dan semangat pembelajaran menjadi politikus dan negarawan yang
andal, terkesan menjadi terabaikan. Akibatnya yang dihasilkan adalah
kader-kader politik yang cenderung berorientasi pada materi dan kursi
kekuasaan, serta kurang memiliki sifat dan sikap kenegarawanan, sehingga komitmennya
kepada kepentingan bangsa dan negara menjadi rendah, di bawah kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Dan bila tiba gilirannya dipercaya memimpin bangsa dan
negara ini, mudah diramalkan apa yang akan dilakukannya.
Kaderisasi Kepemimpinan adalah sebuah
proses bertahap, yang harus di polakan secara terstruktur, sistemik, dan
sistematik. Kaderisasi kepemimpinan di jalur partai-partai politik nampak
kurang terpolakan secara struktural, sistemik, dan sistematik seperti itu.
Namun ini adalah sebuah proses yang memerlukan waktu, ketekunan, dan kesabaran.
Bila kita mengamati sistem kaderisasi kepemimpinan di lingkungan Birokrasi,
sudah ada pola yang mapan seperti itu, walaupun belum sempurna. Paling tidak
dari segi pengarahan pendidikan dan penugasannya. Dan bila kita mengamati lebih
cermat ke sistem kaderisasi kepemimpinan di lingkungan TNI, secara jujur harus
diakui bahwa di sana terdapat pola pembinaan karier dan kepemimpinan yang sudah
lebih terarah, selektif, dan jelas, melalui sistem pembinaan pendidikan jenjang
dan pendidikan spesialisasi, latihan dalam satuan dan antar satuan, penugasan
sebagai Pemimpin, Staf, dan Guru, serta penugasan diberbagai lapangan tugas
manajerial dan operasional, pembinaan keterampilan dan kemahiran teknis
keprajuritan serta pembinaan jiwa dan semangat kepejuangan.
Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi
dan kondisi yang multi dimensional, sebaiknya kita tidak selalu berfikir
negatif dan bersikap buruk sangka, dalam menetapkan Pemimpin yang benar-benar
memiliki kemampuan, integritas, dan akseptabilitas, serta siap menjalankan
amanah kepemimpinannya atas bangsa dan negara ini secara tegas dan bijaksana.
Sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur Partai politik perlu terus kita dorong
dan kita tingkatkan. Demikian pula sistem kaderisasi kepemimpinan di jalur
Birokrasi dan jalur TNI. Siapapun dan apapun latar belakangnya, yang memang
dinilai mampu membawa bangsa ini menghadapi ancaman yang bertubi-tubi
penghancurkan sendi-sendi negara dan bangsa ini, selanjutnya mengantarkan
bangsa dan negara ini menuju kejayaannya, maka dengan akal sehat, kebersihan
hati, dan kesucian jiwa, seluruh komponen bangsa harus ridha memberikan amanah
kepadanya.
6. Kultur
Kepatuhan Asal Patuh kepada Pemimpin.
Kultur dasar masyarakat Indonesia adalah patuh dan taat
kepada Pemimpin. Bahkan ada yang tingkat kepatuhannya menjurus ke taqlid buta
(Pokoknya, pejah-gesang nderek si Anu). Tetapi bila si Pemimpin sudah
mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan rakyat kepadanya, maka rakyat dengan
mudah bisa berbalik sikap menjadi berang dan ganas bahkan menjurus ke sikap
anarkis. Inilah yang harus senantiasa diingat oleh para Pemimpin yang mengemban
amanah rakyat. Baik di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kultur masyarakat yang asal patuh kepada Pemimpin ini akan
bisa membawa bangsa dan negara Indonesia ke kejayaannya, apabila si Pemimpin
selalu berusaha berjalan pada rel yang benar, balk, dan bermartabat. Namun jika
si Pemimpin yang menerima amanah tadi manusia yang jauh dari prinsip kebenaran,
kebaikan, dan keluhuran akal-budi-nurani, maka yang terjadi adalah ketegangan
demi ketegangan, kerusuhan demi kerusuhan, dan pertikaian demi pertikaian. Oleh
karena itu, bangsa Indonesia harus pandai-pandai memilih Pemimpin. Yakni
Pemimpin yang selain memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, juga
harus yakin bahwa ia adalah Pemimpin yang benar-benar berjiwa dan bersemangat
Pancasila.
SOSOK KEPEMIMPINAN IDEAL MASA DEPAN
1. Diperlukannya
Sikap Tegas dan Bijaksana dari Para Pemimpin.
a. Pemimpin dan kepemimpinan selalu terkait
erat dengan seni dan ilmu serta pengalaman. Seorang pemimpin adalah
"jiwa" bagi kelompok manusia yang dipimpinnya. Karena itulah pada
diri seorang pemimpin dituntut kemampuannya untuk bisa mempengaruhi,
meyakinkan, menyadarkan, mengajak, dan menggerakkan orang-orang yang
dipimpinnya, untuk melakukan dengan secara sadar dan ikhlas serta penuh
semangat dan kesungguhan, segala hal yang diperlukan bagi tercapainya tujuan
yang telah disepakati bersama. Adapun cara seorang pemimpin melakukan semua hal
tersebut, tergantung dari seni dan ilmu serta pengalamannya dalam memilih
metoda yang dinilainya paling tepat, dengan mempertimbangkan berbagai aspek
menurut dimensi ruang, waktu dan kondisi lingkungan yang-menyertainya.
b. Prinsip kepemimpinan yang paling utama
adalah : Keteladanan, Pemberi semangat, Pengayom, Tegas, dan Bijaksana. Untuk
itulah diperlukan sikap kepemimpinan dasar sebagai penunjangnya, seperti :
Bertaqwa, Berani, Mendahulukan mana yang lebih penting, Hemat, Sederhana,
Terbuka, Waspada, Loyal, dan Legawa. Serta didukung pula oleh berbagai sifat
kepemimpinan yang pokok, seperti : Berpengetahuan luas, Cerdas, Kreatif, Mampu
mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di segala situasi, Adil, Dapat
dipercaya, Tabah dan ulet, Optimistik, Ceria dan penuh semangat, Tidak
mementingkan diri sendiri, Jujur, dan Mandiri. Sebagai sebuah seni,
kepemimpinan harus bisa diterapkan secara kenyal dan luwes oleh seorang
pemimpin, pada tempat dan waktu serta kondisi yang tepat, sebagaimana layaknya sifat
matahari yang terkadang panas menyengat dan di saat lain menghangatkan
memberikan energi kehidupan. Atau seperti bulan yang memancarkan sinar yang
lembut, sejuk, dan teduh dalam menerangi kegelapan tetapi menyimpan misteri.
Atau seperti bintang yang menjadi penunjuk arah bagi manusia dan penghias
langit luas yang gelap gulita. Atau bagaikan angin yang mengisi setiap ruang
kosong, membawa kesejukan dan kesegaran, walau kadang bisa berubah menjadi
angin badai yang menakutkan. Atau seperti awan yang yang kadang tampil seram
menakutkan, dan di lain kali tampil dengan ceria bersahabat menjadi sumber
inspirasi. Atau laksana api yang panas membakar tak kenal kompromi, tetapi
terkadang menyala lembut mematangkan
masakan, dan menghangatkan tubuh di kala cuaca dingin. Atau bagaikan lautan
yang tenang dan dingin terhampar luas membuka hati, menampung apa saja yang
dialirkan oleh sungai, tetapi siap mengamuk dengan gelombangnya yang
bergulung-gulung. Atau seperti bumi yang kokoh sentosa tak banyak bicara,
menghasilkan aneka hasil bumi sumber kehidupan/tetapi tiba-tiba bisa
menghadirkan gempa bumi, letusan gunung, atau tanah longsor.
c. Diantara prinsip kepemimpinan yang paling
utama tadi, ketegasan dan kebijaksanaan merupakan prinsip yang paling
fundamental. Dari keduanya mengalir berbagai prinsip, sikap, dan sifat
kepemimpinan yang dibutuhkan oleh setiap pemimpin. Dan khususnya menghadapi kondisi
multidimensi setiap pemimpin hendaknya berpegang pada prinsip dasar yang paling
fundamental ini, serta mampu mengaplikasikannya secara berimbang. Ketegasan dan
keberanian tanpa dilengkapi kebijaksanaan dan pertimbangan, hanya akan
menghasilkan kemenangan sesaat. Sebaliknya kebijaksanaan dan pertimbangan tanpa
diimbangi dengan ketegasan dan keberanian, akan membuahkan sikap ragu-ragu dan
tidak ada rasa percaya diri. Dan bila dua hal seperti itu menghinggapi diri
para pemimpin suatu bangsa, maka masyarakat bangsa yang dipimpinnya, di satu
sisi akan menjadi manusia-manusia yang suka berbuat nekad tanpa perhitungan,
dan di sisi lain akan menjadi manusia-manusia yang rendah diri dan takut serta
ragu menghadapi setiap permasalahan dan tantangan. Yang menjadi sasaran utama
adalah mengubah sistem nasional suatu negara dan seluruh aspek kehidupan
bangsanya, termasuk menyerang sistem berfikir manusianya, terutama para
pemimpin dan tokoh-tokohnya, serta kalangan kaum intelektual dan insan media
massanya. Oleh karena itulah, faktor kepemimpinan dalam menghadapi era yang
penuh tantangan multidimensi menjadi begitu penting, karena hakikat pemimpin
adalah "jiwa" atau "run" bagi masyarakat bangsa yang
dipimpinnya.
2. Peran
Kepemimpinan Masa Depan.
Strategi
negara luar untuk menghancurkan negara-negara kecil, menembus sistem nasional
suatu negara serta sistem berfikir manusia-manusianya, terutama para pemimpin,
tokoh, kaum intelektual, dan insan media massa. Oleh karena itu di era yang
penuh tantangan dan ancaman dari strategi yang dilancarkan oleh
Kekuatan-kekuatan Besar Dunia, kita memerlukan sosok Pemimpin dan Kepemimpinan
yang berkemampuan, tegas, berani,
bijaksana, penuh pertimbangan,
serta memiliki komitmen yang kuat terhadap masa depan NKRI. Pemimpin dan
Kepemimpinan dari tingkat Pusat hingga ke tingkat Daerah paling bawah, haruslah
orang-orang yang cerdas, kuat, berwibawa, memiliki leadership yang mantap,
memahami manajemen pemerintahan dan pembangunan, bisa dipercaya (bersifat
amanah), menjunjung tinggi norma hukum, budaya, dan agama, berakhlaq mulia,
komunikatif, akomodatif, dan responsif. Dalam menyikapi situasi dan kondisi
yang serba sulit hendaknya ia bisa bersikap luwes, dalam arti tetap memegang
semangat idealistik tetapi harus mampu bertindak realistik. Di satu sisi ia
harus mampu memanfaatkan situasi dan kondisi multidimensi ini bagi
sebesar-besarnya kepentingan nasional kita, dan di sisi lain harus pula mampu
menangkal berbagai ancaman maupun ekses yang berpotensi membahayakan
kepentingan nasional serta mengancam eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa
dan negara. Oleh karena itulah kita membutuhkan Pemimpin yang cerdas dalam arti
luas.
a. Kepemimpinan yang cerdas secara
intelektual, emosional, dan spiritual.
Cerdas secara intelektual artinya memiliki kemampuan akal dan olah
penalaran yang sehat dan rasional, dengan menggunakan instrumen logika akal
dalam mengolah fakta empirik, guna menghasilkan kebenaran dalam berfikir,
bersikap, dan bertindak. Sedangkan cerdas secara emosional artinya memiliki
kemampuan olah rasa, dengan menggunakan instrumen estetika hati nurani, guna
mendapatkan keindahan dan kesempurnaan dalam setiap sikap dan tindakannya.
Adapun cerdas secara spiritual artinya memiliki kemampuan olah jiwa dalam
berkehendak, dengan menggunakan instrumen etika jiwa yang bersih dan suci, guna
mendapatkan semangat dan kebaikan dalam melakukan setiap tindakan.
b. Kepemimpinan yang Kuat dan Berwibawa.
Kuat bukan hanya dalam arti fisik dan mental, tetapi juga
kuat dalam memegang teguh cita-cita dan tujuan nasional. Juga kuat secara
politis, dalam arti memperoleh dukungan politik yang diperlukan untuk bisa
menjalankan kepemimpinannya secara wajar. Serta
mendapatkan pengakuan dari rakyat, dari kekuatan politik, maupun dari kalangan
internasional. Berwibawa sangat erat kaitannya dengan kepribadian dan akhlaq
seseorang, sikap dan penampilannya, serta pengalaman dan prestasinya dalam berjuang
mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Selain itu terkait pula dengan
kecerdasannya secara intelektual, emosional, dan spiritual, serta keluasan
jaringan kerjasamanya dalam lingkup nasional/ regional, dan internasional.
c. Kepemimpinan yang Berkemampuan Memimpin.
Berkemampuan memimpin artinya memiliki jiwa dan pembawaan
kepemimpinan yang kuat. la menguasai seni dan ilmu kepemimpinan, baik atas
dasar bakat pembawaan maupun atas dasar pengalaman dan proses pembelajaran yang
dilakukannya. la disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan, dan dicintai oleh
masyarakat yang dipimpinnya. Dengan kepemimpinan yang kuat, ia akan lebih mudah
mengajak, mengarahkan, dan menggerakkan rakyatnya untuk melakukan sesuatu
walaupun mungkin terasa pahit, bagi tercapainya dta-dta dan tujuan nasional
bangsa ini.
d. Kepemimpinan yang Berkemampuan Manajerial.
Kemampuan manajerial adalah kemampuan merencanakan,
menyiapkan, mengatur, mengarahkan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan,
mengevaluasi, dan melakukan penyempurnaan. Seorang Pemimpin hendaknya
benar-benar menguasai Manajemen
Pemerintahan dan Manajemen Pembangunan. Tanpa penguasaan hi,
ia akan sangat tergantung kepada para pembantunya dalam setiap menetapkan
kebijakan dan mengambil keputusan. Atau cenderung melempar tanggungjawab kepada
para pembantunya manakala timbul suatu permasalahan.
e. Kepemimpinan yang Terpercaya Mengemban
Amanah Kepemimpinannya.
Memimpin sebuah negara atau wilayah tertentu atau
institusi tertentu, pada hakikatnya adalah mengemban amanah (kepercayaan). Oleh
karena itu, seorang Pemimpin hendaknya senantiasa konsekuen dan konsisten dalam
menjalankan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya. Jangan sampai ia berkhianat
dengan menyalahgunakan kewenangannya atau cenderung berbuat sewenang-wenang.
Ingatlah kultur dasar masyarakat kita yang cenderung selalu patuh dan taat
kepada Pemimpinnya, tetapi jika dikhianati mereka akan dengan cepat berbalik
menjadi melawan dan beringas menjurus ke perbuatan anarkis.
f. Kepemimpinan yang Memahami, Mencintai,
dan Peduli kepada Bangsa dan NKRI.
Pemimpin hendaknya benar-benar memahami, menghayati,
mencintai, serta peduli kepada bangsa dan negara yang amat kompleks dan plural
ini, berikut segala kelebihan dan kekurangannya, keunggulan dan kelemahannya,
dengan sesempurna-sempurnanya dan setotal-totalnya. Sebagai pemimpin sebuah
bangsa pejuang, ia harus memiliki jiwa dan semangat perjuangan. la harus
memahami benar sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pengorbanan yang telah
diberikan oleh para pahlawan kita, gigihnya perjuangan dan pengabdian para
pendahulu kita, sehingga dalam mengambil keputusan strategik tidak mudah
bertindak gegabah. Di sisi lain, iapun akan lebih mudah mengajak dan membawa
rakyatnya untuk mencintai dan peduli kepada masa depan bangsa dan negara ini,
serta bersama-sama berjuang mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya.
g. Kepemimpinan yang menjunjung tinggi norma
hukum, norma budaya dan norma agama.
Dalam suatu masyarakat bangsa yang sedang dilanda krisis
akhlaq, maka upaya untuk meluruskannya harus dilakukan melalui tiga jalur
secara silmultan : jalur hukum, jalur budaya, dan jalur agama. Oleh karena itu,
seorang Pemimpin pertama-tama harus menjunjung tinggi ketiga jalur tersebut.
Bukan hanya menjunjung tinggi sekedar dalam arti memberikan apresiasi, tetapi
juga menerapkan secara konsekuen ketiga jalur itu dalam kehidupan pribadinya
selaku Pemimpin. Serta berusaha menerapkannya dalam bentuk kebijakan politik.
Termasuk kebijakan dalam menghadapi tindak korupsi, kolusi, manipulasi, mark up, nepotisme, pungli, suap,
penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penyimpangan pajak,
perdagangan dan penyalahgunaan narkoba, pemakaian miras, perdagangan wanita dan
anak-anak, perjudian, komersialisasi seks, serta pertunjukan pornografi dan
pornoaksi maupun keterbukaan perilaku seksual dan erotisme yang digelar dan
ditayangkan di media massa. Dengan demikian, rakyat akan lebih mudah diajak
untuk mengormati serta mematuhi norma hukum, budaya, dan agama.
h. Kepemimpinan yang berbudi pekerti luhur dan
berakhlaq mulia.
Memimpin suatu masyarakat bangsa yang sedang mengalami
krisis akhlaq dan budi pekerti, harus disikapi dengan upaya membersihkan mereka
dari akhlaq yang tercela, kemudian mengisinya dengan akhlaq yang terpuji. Dan
itu baru efektif jika Sang Pemimpin terlebih dulu terbebas dari segala macam
akhlaq dan perilaku yang tercela, dan tampil dengan akhlaq dan perilaku yang
terpuji. Dengan demikian segala instrumen aturan yang mengarah ke sana akan
lebih dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya.
i. Kepemimpinan yang komunikatif, empatif,
aspiratif, akomodatif, dan responsif.
Di era saat ini, diperlukan Pemimpin yang lebih terbuka,
lebih komunikatif dengan rakyatnya, mempunyai sikap tenggang rasa (empatif)
atas kesulitan yang dihadapi masyarakatnya, mau menampung dan mempertimbangkan
aspirasi mereka menurut sistem dan prosedur yang berlaku, serta senantiasa peka
dan tanggap terhadap berbagai peristiwa maupun gelagat kejadian yang datang
setiap waktu.
j. Kepemimpinan yang tegas dan bijaksana.
Menghadapi berbagai ragam permasalahan dan tantangan
serta ancaman di era saat ini, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu bersikap
tegas dan berani bertindak secara proporsional, dalam arti selalu diselaraskan,
diserasikan, dan diseimbangkan dengan sikap bijaksana yang penuh dengan
pertimbangan dari berbagai aspek. Jika hanya sekedar berani dan tegas tanpa
pertimbangan dan kebijaksanaan, maka yang terjadi adalah kemenangan sesaat.
Sedangkan jika hanya sekedar bijaksana dan banyak pertimbangan tanpa disertai
oleh sikap berani dan tegas/maka yang terjadi adalah sikap ragu-ragu dan rendah
diri serta tiadanya rasa percaya diri, yang akan membawa kepada kekalahan
sistematik berkepanjangan, menjadi sasaran empuk yang dilancarkan oleh
Kekuatan-kekuatan Besar Dunia. Termasuk dalam pengertian ini adalah ketegasan
dan kebijaksanaannya dalam menangani masalah korupsi, kolusi, manipulasi, mark up, nepotisme, pungli, suap,
penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penyimpangan pajak,
perdagangan dan penyalahgunaan narkoba, pemakaian miras, perdagangan wanita dan
anak-anak, perjudian, komersialisasi seks, serta pertunjukan pornografi dan
pornoaksi maupun keterbukaan perilaku seksual dan erotisme yang digelar dan
ditayangkan di media massa.
PENUTUP.
Indonesia
sudah masuk ke dalam perangkap situasi dan kondisi yang serba sulit Karenanya
kita memerlukan Kepemimpinan yang memahami persis bahaya dan ancaman ini, serta
yang mampu mengajak dan mengarahkan bangsa ini menyikapi ancaman tersebut
secara tepat dan cerdas, menuju tercapainya cita-cita dan tujuan nasional
kita. Siapapun yang nantinya terpilih
dan mengemban amanah untuk memimpin bangsa ini, hendaknya menyikapi situasi dan
kondisi Indonesia secara tepat dan bijak, serta menyikapinya secara
proporsional, demi keselamatan perjuangan dan pembangunan serta perjalanan
bangsa dan negara ini ke depan. Termasuk bagi para pemimpin di daerah, baik
formal maupun non formal, untuk bisa memberikan pemahaman secara tepat kepada
masyarakat di daerahnya masing-masing, serta menyikapinya dengan tepat pula
dalam melakukan pembinaan wilayah, serta dalam menjalankan roda pemerintahan di
daerah.
Semoga
ini ada manfaatnya bagi bangsa Indonesia yang sedang dilanda oleh krisis multi
dimensi berkepanjangan. Dan kita bangsa Indonesia diberikan kekuatan,
kesabaran, dan ketabahan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam menghadapi
situasi ini, serta senantiasa dilimpahi oleh rahmat dan ridha-Nya, petunjuk dan
bimbingan-Nya, serta perlindungan dan inayah-Nya
Palembang,
Oktober 2006
Penulis
0 komentar:
Posting Komentar